Loh, Kok Sepi? Jadi Lebaran?
Hari ini adalah hari lebaran. Pagi ini adalah waktunya salat id. Namun, sayup-sayup pun tak terdengar suara takbiran yang biasanya disebarkan melalui pelantang suara.
Itulah gambaran hari Iduladha pertamaku di Jakarta.
Seharusnya aku bangun pukul tiga untuk bersiap-siap, mencuci baju, membuat sarapan, mandi, dan lain-lain. Namun, pukul empat aku baru bisa mengangkat tubuhku dari kasur. Walau begitu, ternyata semua urusan itu sudah berhasil kuselesaikan pada pukul lima. Semua urusan selesai, aku bisa berangkat ke tempat salat id sekarang.
Walau aku sudah mencari informasi di internet tentang tempat-tempat salat id di Jakarta, aku masih berharap dapat menemukan orang-orang di sekitar kos yang berjalan kaki menuju tempat salat id terdekat agar aku tak perlu mengeluarkan uang untuk ongkos transportasi. Sayangnya, tidak ada sama sekali. Ada yang bersih-bersih rumah, berkendara ke pasar, dan joging. Tidak ada bapak-bapak mengenakan sarung, peci, dan menenteng sajadah. Tidak ada ibu-ibu bermukena mengendarai motor.
Yah, suara takbiran saja tidak terdengar…
Akhirnya, aku memesan layanan ojek daring untuk menuju tempat salat id yang rupanya berada di kompleks Muhammadiyah, tepatnya di SMP Muhammadiyah 9 Jakarta yang bersebelahan langsung dengan SD Muhammadiyah 5 Jakarta, SMA Muhammadiyah 3 Jakarta, dan Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka.
Dalam perjalanan menuju ke sana, aku memperhatikan dengan saksama. Siapa tahu ada tempat salat id yang lebih dekat dengan kos. Harapan itu pun tak terjawab. Bahkan aku yakin sekali, saat itu yang berpakaian rapi untuk salat id hanya aku. Orang-orang yang kulihat di jalan sama sekali tidak tampak seperti akan berangkat untuk salat.
Jakarta benar-benar sepi. Mencari tempat salat id yang diselenggarakan berbeda waktu dengan jadwal pemerintah benar-benar susah jika tidak bergantung pada internet.
Aku sangat yakin, mencari teman salat id seperti itu di Jogja atau di pedesaan seperti di Klaten sangat mudah. Tinggal keluar ke jalan, setidaknya akan ada orang berkendara menuju tempat salat id, yang biasanya menuju lapangan. Bahkan suara-suara takbiran akan saling bersautan sehingga kita dapat mengetahui bahwa di sekitar kita ada yang menyelenggarakan salat id.
Begitu memasuki belokan terakhir sebelum mencapai kompleks Muhammadiyah itu, akhirnya aku melihat bapak bersarung dan berpeci yang mengendarai motor dengan ibu bermukena duduk menghadap samping di belakangnya.
Alhamdulillah, tidak salah tempat.
Aku ternyata tiba satu jam sebelum salat dimulai sehingga mendapatkan barisan depan. Saat itu masih sepi, bahkan aku dapat meletakkan sandalku dengan leluasa di tepi teras masjid. Ternyata, jamaah di tempat ini jauh lebih banyak dari yang kubayangkan. Tiga lantai, satu gedung olahraga besar, dan satu gang Jalan Limau terisi penuh. Aku baru mengetahui itu setelah salat dan hendak keluar masjid.
Aku yang sudah memesan layanan ojek daring untuk kembali ke kos dibuat heran mengapa ojekku sudah berhenti sebelum memasuki gang Jalan Limau yang membuatku berjalan cukup jauh untuk menghampirinya. Ternyata, untuk keluar dari Jalan Limau, aku harus mengantre. Jalanan dipenuhi dengan jamaah-jamaah yang juga sedang menuju ke kendaraan yang diparkir di luar Jalan Limau. Banyak kendaraan, khususnya mobil, yang diparkir di tepi jalan besar juga sehingga cukup membuat macet daerah sekitar.
Perasaan pulang bersama para jamaah setelah salat id selalu meninggalkan rasa hangat di hati.
Pukul delapan aku sampai di kos, berganti pakaian, dan mengambil ransel. Bismillah, aku berangkat mudik ke Jogja.